Apakah rasulullah pernah menyebutkan istilah aswaja? Untuk sementara ini belum di temukan riwayat shohih yang secara sharih menyatakan bahwa rasulullah pernah menggunakan istilah ahlussunnah wal jamaah. Memang ada sebuah hadist yang secara langsung meyebutkan redaksi ahlussunah wal jamaah. Yaitu:
قال رسول الله ﷺ : افترقت اليهود علي احدی وسبعين فرقة وافترقت النصاری علی اثنين وسبعين فرقة وان امتي ستفترق علی ثلاث وسبعين فرقة . الناجية منها واحدة والباقون هلكی . قيل ومن الناجية قال اهل السنة والجماعة . قيل وما السنة والجماعة ؟ قال ما انا عليه اليوم واصحابي.
Artinya : Rasulullah ﷺ bersabda “ummat yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Ummat nasrani menjadi 72 golongan. Sedangkan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari 73 golongan itu hanya satu sedangkan yang lainnya celaka. Lalu di tanyakan pada nabi . siapakah golongan yang selamat itu ? beliau bersabda : ahlussunnah wal jamaah . di tanyakan lagi . siapakah ahlussunnah wal jamaah itu? Beliau bersabda : “apa yang di pegang olehku dan para sahabatku.”
Karena tidak di temukan riwayat yang shohih yang secara langsung menyebutkan istilah aswaja, maka banyak kalangan yang menilai bahwa istilah tersebut baru muncul setelah masa rasulullah. Ketika Rasulullah SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan anshar, siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan menimbulkan perselisihan antara kaum Muhajirin dan anshar. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukan siapa khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu bakar sebagai khalifah.
Pada masa itu mulai terlihat adanya perpecahan antar umat islam yang berlanjut hingga masa kepemimpinan khulafa’ berakhir yang kemudian dilanjutkan oleh para kholifah dari berbagai dinasti dan sampailah pada dinasti dimana imam-imam madzhab aliran-aliran muncul. Menurut sebagian sejarawan, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah itu digunakan sejak abad III H. mereka menyebutkan satu bukti yang ditemukan pada lembaran surat Al-Ma’mun (khalifah dinasti Abbasiyah ke-6). Di sana, tercantum kata-kata,“wa nassaba nafsahum ilaa as-Sunnah (mereka menisbatkan diri pada sunnah). Abad ini adalah periode tabi’in dan para imam-imam mujtahid, di kala pemikiran-pemikiran bid’ah sudah mulai menjalar terutama bid’ah dari kaum mu’tazilah. Sejarah mengatakan bahwa khalifah al-Ma’mun merupakan khalifah yang mengambil mu’tazilah sebagai akidah resmi negara kemudian memaksakan doktrin-doktrin Mu’tazilah kepada kaum muslimin.
Menurut mayoritas ulama, mazhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi adalah ahlussunnah waljamaah. Dalam konteks ini syech muhammad az zabidi dalam ithaf sadatil muttaqin menyebutkan : اذا اطلق اهل السنة فالمراد به الاشاعرة والماتردية “apabila kata ahlussunnah di ucapkan, maka maksudnya adalah orang orang yang mengikuti paham al- Asy’ari dan paham al-maturidi. Pernyataaan az zabidi tersebut mengilistrasikan bahwa dalam pandangan umum para ulama, istilah aswaja menjadi nama bagi mazhab al asyari dan almaturid. Klik di sini
1. sejarah madzhab al-asy’ari
Madzhab Al-asy’ari adalah madzhab teologis yang di nisbatkan terhadap pendirinya Al-Imam Abu al Hasan Al Asy’ari. Yang awalnya mengikuti dan menjadi tokoh aliran muktazilah hingga berusia 40 tahun. Kemudian beliau kembali ke ahlussunnah wal jamaah yang melatar belakangi karna ketidak puasan al asy’ari terhadap ideologi muktazilah yang selalu mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah di patahkan dengan argumentasi akal yang sama. Madzhab yang di ikuti mayoritas kaum muslimin ahlussunnah waljamaah dari dulu hingga sekarang. Imam abul hasan al asy’ari hidup pada paruh kedua abad ke 3 dan paruh pertama abad ke 4 hijriyah. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu di tandai dengan tampilnya ulama terkemuka di berbagai studi keislaman. Di bidang hadits ada Muhammad bin ismail al-bukhori, muslim al hallaj al qusyairi. Dalam bidang fikih tampil pula mujtahid terkemuka dan pakar fiqih besar yang mengawal madzhab-madzhab tertentu. Dan dalam bidang tasawwuf juga.
Meskipun pada abad ini ilmu pengetahuan berkembang pesat, bukan berarti kaum muslimin terbebas dari ancaman, justru pada saat itu kaum muslimin berada dalam tantangan aliran yang berkembang cukup pesat. Ada aliran syi’ah, muktazilah, dam khawarij. Merebaknya aliran tersebut terutama aliran muktazilah yang mendapat dukungan dari 3 khalifah abbasi sebelum al mutawakkil. Merebaknya aliran muktazilah secara alami menimbulkan benturan pemikiran yang sangat keras antara dua pemikiran yang berbeda secara diametral. Yaitu pemikiran yang di kawal oleh kaum fuqoha dan ahli hadis yang perhatiannya di curahkan untuk menekuni ilmu agama dengan dalil dalil dan argumentasi yang di dasarkan pada tafsir al quran, hadist, ijma, dan analogi atau qiyas. Sementara itu di kutub lain yang berlawanan secara ekstrim ada kaum teolog (mutakallimin) yang perhatiannya di curahkan untuk membela agama menghadapi serangan lawan-lawannya dengan menggunakan senjata pihak lawan seperti ilmu dialektika (jadal) logika dan rasio serta mengesampingkan teks-teks alquran dan assunnah.
Sebagai bukti bahwa gerakan yang di rintis oleh al asy’ari memang sangat menjadi kebutuhan yang mendesak pada saat itu, untuk mendamaikan antara ahlussunnah dengan muktazilah, dengan meletakkan jalan tengah antara keduanya, adalah tampilnya dua ulama’ besar yang semasa dengan al asy’ari, tetapi tempat tinggal mereka sangat jauh dan belum pernah saling mengenal yaitu imam abu manshur al maturidi al hanafi. Yang tinggal di samarkand. Keduanya mengajak kaum muslimin agar kembali kepada ajaran ahlussunnah wal jamaah dan memberantas ajaran-ajaran bid’ah. Tetapi juga tidak mengabaikan metodologi baru yang di kembangkan oleh kaum rasionalism. Hanya saja dari gerakan pemikiran keduanya, hanya gerakan al maturidi yang mengalami metamorfosa dan berkembang di kemudian hari menjadi sebuah madzhab teologi dalam islam. Sementara gerakan pemikiran at thahawi melebur ke dalam madzhab al asy’ari dan al maturidi.
2. Sejarah madzab Al-Maturidi
Abu manshur al maturidi di lahirkan di sebuah kota kecil di daerah samarkand bernama maturid, uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak di ketahui pasti, hanya di perkirakan sekitar pertengahan abad ke 3 H. Gurunya dalam bidang fikih dan teologi bernama Nasyr bin yahya al balkhi. Al-Maturidiyyah merupakan salah satu bagian dari ahlussunnah wal jamaah yang tampil dengan asy’ariyyah . keduanya di lahirkan dalam kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Keduanya ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstremitas kaum rasionalis. Yang di pelopori kaum muktazilah.
Seperti halnya al Asy’ari, al maturidi berusaha mengambil jalan tengah untuk menghadapi kedua sistem pemikiran antara muktazilah yang sangat liberal dan pemikiran tradisional ortodoks yang di sokong sebagian hanabilah. Al maturidi mempunyai latar belakang pendidikan yang di pengaruhi sistem pemikiran Hanafi, di karenakan guru gurunya adalah murid dari abu hanifah yang bercorak rasional. Di bandingkan dengan al asy’ari dalam pemikiran teologi al maturidi memberikan porsi lebih besar pada akal.
Akidah yang dibawakan oleh imam Asy’ari menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi aqidah resmi negara. Paham As’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti al-Mahdi bin tumirat dan Nurudin Mahmud Zanki serta sultan Salahudin al-Ayyubi. Juga didukung oleh sejumlah besar Ulama, terutama para imam madzhab. Sehingga wajar sekali kalau akidah asy’ariyah adalah akidah terbesar di dunia.
#Editor-Muhyi Zain
#HidayatusSibyan.NET
AsoranDupok.blogspot.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar